Jakarta, newtechclub.com – Teknologi kecerdasan buatan (AI) memang sudah merambah berbagai sektor, termasuk media dan industri kreatif. Namun, riset terbaru dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan Serikat Sindikasi membuktikan bahwa AI belum mampu menggantikan peran kreativitas manusia. Studi ini melibatkan 217 responden survei dan 40 informan dari tiga kota utama: Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar.

Para pekerja kreatif dan media menggunakan AI sebagai alat bantu sehari-hari, namun menilai kemampuannya masih terbatas. “Kami lebih banyak memanfaatkan AI untuk pekerjaan pendukung, bukan untuk proses kreatif inti,” ungkap para responden dalam laporan tersebut. Misalnya, mereka memanfaatkannya untuk transkripsi, riset awal, atau membuat draft desain. Namun, ketika sampai pada ide orisinal dan sentuhan manusia, AI masih kalah.
Hasil survei menunjukkan dua hal menarik: mayoritas responden terkesan dengan kemampuan AI (skor 3,79 dari 5) dan melihat banyak keuntungan dari penggunaannya. Namun, di sisi lain, mereka enggan berinteraksi penuh dengan AI. Pernyataan “Saya lebih suka berurusan dengan manusia daripada AI untuk tugas rutin” hanya mendapat skor 2,53. Artinya, sentuhan manusia tetap lebih dihargai.
Baca juga 4 Fitur Baru WhatsApp Yang Bakal Bikin Storymu Jadi Kece!

Namun, kekhawatiran terbesar justru muncul dari potensi penyalahgunaan AI. Sebanyak 3,79 responden setuju bahwa penggunaan AI secara tidak etis menjadi ancaman serius. Meski begitu, mereka tidak serta-merta menganggap AI sebagai teknologi jahat—skor hanya 2,79. “AI itu netral, tergantung bagaimana kita memakainya,” begitu kesimpulan banyak pekerja.
Para pekerja kreatif paling khawatir AI akan mengambil alih lapangan kerja mereka, khususnya bagi para freelancer. Mereka memperingatkan bahwa efisiensi AI berpotensi memangkas jumlah tenaga manusia karena dianggap lebih hemat biaya. “Pemerintah dan pemangku kepentingan harus segera menyusun regulasi pembatasan AI di industri kreatif,” tegas para peneliti dalam laporan tersebut. Tanpa aturan yang jelas, bukan tidak mungkin AI justru menggerus ruang kreativitas manusia.
Di industri media, para jurnalis memanfaatkan AI untuk mempercepat proses penulisan, misalnya mengubah rekaman wawancara langsung menjadi naskah teks secara instan. Sementara di dunia desain, para kreator mengandalkan tools seperti Midjourney dan DALL-E untuk menghasilkan konsep visual awal sebelum dikembangkan lebih lanjut. Tapi lagi-lagi, hasil akhir tetap membutuhkan sentuhan manusia.
Laporan ini juga menyoroti pentingnya etika dalam penggunaan AI, terutama terkait plagiarisme, hak cipta, dan perlindungan data. Transparansi dalam memakai AI untuk karya publik juga jadi perhatian. “Panduan etis bisa mengurangi risiko penyalahgunaan,” ungkap penelitian. Tanpa aturan yang jelas, AI bisa jadi bumerang bagi industri kreatif.
Pada akhirnya, riset ini membuktikan bahwa AI belum bisa menyaingi kreativitas manusia. Ia hanya alat bantu—bukan pengganti. Namun, tanpa regulasi dan etika yang kuat, kehadirannya justru bisa mengancam. Jadi, siap atau tidak, industri kreatif harus mulai memikirkan bagaimana memanfaatkan AI tanpa kehilangan jiwa manusiawi.