newtechclub.com – Firma riset pasar International Data Corporation (IDC) memprediksi penjualan smartphone global akan stagnan di tahun 2025. Penyebab utamanya? Ketidakpastian industri akibat kebijakan tarif impor Donald Trump yang kembali jadi sorotan.
Kebijakan tarif Trump—yang mengenakan pajak impor tinggi pada produk dari China, India, Jepang, dan negara lain—ternyata memukul industri smartphone secara langsung. Produsen yang mengandalkan rantai pasokan global kini terbebani biaya impor lebih mahal. Akibatnya, biaya produksi melonjak, dan ujung-ujungnya, konsumen yang harus menanggung harga jual lebih tinggi.
Sejak awal April, gejolak industri smartphone mulai terasa. Kebijakan dagang AS memicu kenaikan harga dan menekan daya beli konsumen di berbagai negara.
“Tarif belum langsung dikenakan pada smartphone, tapi ancaman perluasannya menciptakan ketidakpastian besar,” jelas Nabila Popal, Senior Research Director IDC.
Baca juga Redmi Note 14 5G: Harga Turun? Cek Spesifikasi Dan Harganya!
Melihat situasi ini, IDC memangkas proyeksi pertumbuhan penjualan smartphone global 2025 dari 2,3% menjadi hanya 0,6%. Tahun ini, diperkirakan hanya 1,24 miliar unit yang terjual—angka yang sama dengan realisasi 2024. Padahal, tahun lalu, pasar smartphone tumbuh 6,4%, menandai pemulihan setelah dua tahun penurunan.
IDC juga memperkirakan pertumbuhan penjualan akan tetap rendah dalam lima tahun ke depan, rata-rata hanya 1,4%. Penyebabnya? Konsumen kini lebih lama mengganti ponsel dan semakin memilih smartphone bekas (refurbished) yang lebih murah.
Meski perang dagang AS-China makin panas, kedua negara ini justru masih menjadi pendorong utama pertumbuhan smartphone tahun ini.
- Pasar AS: Diprediksi tumbuh 1,9%, turun dari proyeksi awal 3,3% akibat kenaikan harga dan ketidakpastian tarif.
- Pasar China: Penjualan smartphone Android diperkirakan naik 3% berkat subsidi dan diskon dari pemerintah.
Analis IDC memprediksi kebangkitan Huawei di pasar domestik China akan menekan penjualan Apple hingga 1,9%,” tegas laporan tersebut.
Produsen smartphone non-AS kini waswas dengan rencana kenaikan tarif Trump, yang bisa mencapai 25% untuk ponsel produksi luar AS. Ini membuat masa depan vendor ekspor AS, termasuk Apple, makin tidak pasti.
Padahal, mayoritas iPhone dirakit di China dengan komponen dari berbagai negara:
- Kamera dari Jepang
- Prosesor dari Taiwan
- Layar dari Korea Selatan
- Memori dari AS
Apple tetap harus menanggung beban tarif impor ketika memasukkan kembali iPhone hasil rakitan ke pasar AS, meski secara resmi merupakan perusahaan Amerika.
Dengan keputusan tegas, Mahkamah Dagang AS menyatakan batal tarif 10% Trump, mengurai simpul ketegangan perdagangan global yang selama ini mencekik mitra dagang AS. Pengadilan menilai Trump melebihi kewenangannya dengan menggunakan Undang-Undang International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) untuk memberlakukan tarif.
IEEPA sebenarnya memberi presiden wewenang mengatur transaksi ekonomi saat darurat nasional. Namun, pengadilan menilai penggunaan aturan ini untuk perang dagang tidak tepat.
Keputusan ini bisa meredakan ketegangan, tapi dampak kebijakan tarif sebelumnya masih terasa. Produsen masih waspada dengan kemungkinan perubahan regulasi, sementara konsumen harus siap menghadapi harga smartphone yang mungkin terus naik.
Jadi, jika tahun ini kamu melihat harga smartphone melambung, sekarang sudah tahu penyebabnya—bukan karena teknologi canggih, tapi kebijakan dagang yang bergejolak!